Dalam persaingan inovasi, kecepatan adalah segalanya. Berdasarkan data statistik yang dipublikasikan oleh Japan Patent Office (JPO), di antara Kantor Paten ASEAN6 (6 Negara ASEAN dengan peringkat Paten tertinggi), Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Indonesia (DJKI) tercatat sebagai kantor dengan total pendency atau lama waktu dari pengajuan hingga pendaftaran yang paling singkat, sekitar 3,4 tahun saja. Sedangkan kantor-kantor Paten lain di ASEAN umumnya masih berada pada kisaran 4,5 s/d 7 tahun. Angka ini setidaknya sejalan dengan upaya percepatan pemeriksaan di Indonesia, termasuk melalui pemanfaatan skema Patent Prosecution Highway (PPH).
Menariknya lagi, sebagai satu-satunya kantor yang menerapkan PPH dengan seluruh Kantor Paten ASEAN6. JPO dapat berfungsi sebagai “gateway” strategis bagi Pemohon yang menargetkan perlindungan di kawasan ASEAN. JPO mencatat sejumlah statistik berikut ini:
- Lama waktu pemberian Paten (grant) di Jepang melalui jalur cepat (fast track) dapat dicapai dalam waktu sekitar 4,9 bulan, dan
- Grant di kantor-kantor ASEAN melalui skema PPH dapat dicapai dalam waktu sekitar 1 tahun, dengan grant rate di atas 90%.
Jumlah permohonan PPH dengan DJKI sebagai Office of Later Examination (OLE) per tahun permohonan PPH. Sumber: Japan Patent Office (JPO), “PPH Statistics”.
Selain menggambarkan kinerja pemeriksaan, data JPO juga menunjukkan bahwa jalur PPH dengan DJKI sebagai Office of Later Examination (OLE) sudah dimanfaatkan secara nyata oleh Pemohon internasional. Sejak inisiasi program dimulai pada 2013, jumlah permohonan PPH yang menjadikan DJKI sebagai OLE secara konsisten berada pada kisaran ratusan permohonan per tahun, dan mencapai puncaknya di tahun 2019. Kemudian tetap bertahan di angka yang signifikan, menghilan, namun kembali di 2024. Artinya, skema PPH DJKI–JPO bukan sekadar opsi prosedural di atas kertas, tapi sudah menjadi jalur yang betul-betul digunakan pelaku usaha global ketika memasuki pasar Indonesia dan ASEAN.
Dengan latar belakang itu dan fakta bahwa DJKI mencatat total pendency tercepat di antara ASEAN6, Pemohon dapat merancang strategi dua langkah ini:
- Menjadikan Jepang sebagai pusat pemeriksaan utama, baik sebagai negara first filing maupun sebagai International Searching Authority (ISA/JP) dalam skema Perjanjian Kerja Sama Paten internasional/ Patent Cooperation Treaty (PCT).
- Memanfaatkan skema PPH untuk akses cepat ke ASEAN, dengan Indonesia sebagai salah satu tujuan utama karena waktu menuju grant yang relatif paling singkat.
Kombinasi ini membentuk narasi yang sangat menarik bagi pelaku usaha dan pemilik teknologi. JPO menyediakan pemeriksaan yang cepat dan berkualitas di “hulu”, sedangkan DJKI menawarkan salah satu jalur menuju grant tercepat di kawasan “hilir”. Bagi perusahaan yang memandang ASEAN sebagai kawasan pertumbuhan, kombinasi ini dapat secara signifikan mengurangi risiko dan mempersingkat waktu dalam proses pengajuan Paten.
Bagaimana Sebenarnya Cara Kerja PPH DJKI-JPO?
Sederhananya, PPH adalah skema kerja sama antar Kantor Paten yang memungkinkan satu Kantor Paten memanfaatkan hasil pemeriksaan (search & examination) yang telah dilakukan oleh Kantor Paten lain. Jadi secara garis besar, mekanisme pemeriksaan Paten PPH dapat dipercepat di DJKI dengan cara memanfaatkan hasil pemeriksaan “work products” dari JPO.
Secara kelembagaan, skema PPH antara DJKI dan JPO sendiri tidak muncul begitu saja. Program inisiasi uji coba PPH DJKI–JPO pertama kali diluncurkan pada tahun 2013 sebagai upaya untuk menguji pemanfaatan hasil pemeriksaan JPO guna mempercepat proses di Indonesia. Seiring meningkatnya penggunaan dan respons positif dari Pemohon, kerjasama ini berkali-kali diperpanjang, dan melalui kesepakatan terbaru, program PPH DJKI–JPO kembali dilanjutkan hingga tahun 2026. Perpanjangan berkala ini menunjukkan bahwa PPH dipandang berhasil oleh kedua kantor. Di satu sisi membantu mengurangi beban pemeriksaan, di sisi lain memberi jalur percepatan yang stabil bagi Pemohon.
Mengacu pada pedoman resmi DJKI, skema PPH DJKI-JPO dibagi menjadi dua:
PPH berbasis National Work Products JPO
Di skema ini, permohonan PPH diajukan untuk permohonan Paten yang sudah masuk ke DJKI, dengan mengacu pada permohonan koresponden di JPO. Pada skeama ini terdapat ketentuan utama yang harus dipenuhi dalam pendaftaran PPH diantaranya :
- Permohonan di DJKI dan permohonan di JPO yang menjadi dasar PPH harus mempunyai tanggal paling awal (earliest date) yang sama dengan priority date atau filing date, baik melalui Paris Route maupun PCT Route.
- Permohonan paling awal (earliest application) di keluarga Paten tersebut minimal harus diajukan ke DJKI atau JPO sebagai kantor nasional.
- Minimal ada satu permohonan JPO yang klaimnya telah dinyatakan dapat dipatenkan atau “determined to be patentable/allowable” dalam Decision to Grant, Notification of Reasons for Refusal, Decision of Refusal, atau Appeal Decision.
- Semua klaim yang diperiksa dalam skema PPH di DJKI harus “sufficiently correspond” dengan klaim yang dinyatakan patentable/allowable di JPO, artinya, lingkup klaimnya sama atau serupa atau lebih sempit dengan ditambahkan fitur pembatas yang didukung spesifikasi.
- PPH hanya bisa diminta kalau DJKI belum memulai pemeriksaan substantif atas permohonan tersebut.
PCT-PPH berbasis PCT International Work Products (WO/ISA, WO/IPEA, IPER)
Dalam skema ini, selain “national work products,” pedoman juga mengatur PCT-PPH. Di sini, dasar percepatannya bukan lagi office action nasional JPO, tetapi “international work products” dari JPO sebagai :
- WO/ISA (Written Opinion of the International Searching Authority)
- WO/IPEA (Written Opinion of the International Preliminary Examining Authority)
- IPER (International Preliminary Examination Report)
Dalam hal ini, dijelaskan beberapa syarat utama antara lain:
- International Work Product terbaru harus menyatakan minimal satu klaim sebagai patentable/allowable dari aspek kebaruan (novelty), langkah inventif (inventive step), dan dapat diaplikasikan dalam industri (industrial applicability).
- Permohonan DJKI dan permohonan internasional PCT yang korespondensinya memiliki earliest date yang sama (baik sebagai national phase, basis priority, atau turunan/divisionalnya).
- semua klaim di DJKI harus “sufficiently correspond” dengan klaim yang dinyatakan patentable/allowable di International Work Product tersebut.
PPH MOTTAINAI
Di luar dua pintu skema utama di atas, JPO juga memperkenalkan konsep PPH MOTTAINAI. Secara sederhana, “mottainai”s dalam bahasa Jepang menggambarkan rasa sayang ketika sesuatu yang berharga menjadi sia-sia.
Dalam konteks PPH, gagasan ini diterjemahkan menjadi prinsip “jangan sampai hasil pemeriksaan yang sudah ada menjadi mubazir.” Jika dalam skema PPH klasik yang bisa menjadi “Office of Earlier Examination” biasanya adalah kantor tempat pengajuan pertama (first filing), maka dalam PPH MOTTAINAI kantor mana pun yang lebih dulu mengeluarkan hasil pemeriksaan positif, dapat dijadikan dasar permohonan PPH di kantor lain.
Dengan cara ini, Pemohon tetap dapat memanfaatkan Work Products yang sudah ada, baik itu National Work Products maupun PCT International Work Products tanpa terpaku pada urutan pengajuan pertama. Meskipun implementasi teknisnya bergantung pada pengaturan masing-masing kantor, konsep MOTTAINAI menunjukkan arah kebijakan yang sama, yaitu hasil pemeriksaan yang berkualitas harus dimaksimalkan, bukan diulang dari nol.
Jendela Waktu Pengajuan yang Perlu Diperhataikan
DJKI menegaskan permintaan PPH harus diajukan sebelum pemeriksaan dimulai (dan aplikasi sudah publish serta masa oposisi berakhir). Ini tidak selalu disyaratkan secara eksplisit oleh semua kantor, namun ini jadi poin khas DJKI. Di sisi JPO, permintaan PPH juga harus diajukan sebelum pemeriksaan JPO dimulai, jadi sama‑sama “ajukan secepat mungkin.”
Pada akhirnya, angka-angka dari JPO dan pengaturan prosedural dalam pedoman resmi menunjukkan satu hal yang sama, yakni PPH DJKI–JPO adalah jalur yang serius, terstruktur, dan semakin relevan bagi Pemohon yang ingin mengamankan hak Paten di Indonesia dan kawasan ASEAN. Di sisi kebijakan, perpanjangan program hingga tahun 2026 mencerminkan kepercayaan kedua kantor terhadap efektivitas skema ini. Sedangkan di sisi praktik, konsistensi jumlah permohonan PPH dengan DJKI sebagai OLE mengindikasikan bahwa pelaku usaha global sudah menjadikannya bagian dari strategi portofolio mereka. Dalam konteks persaingan teknologi yang kian ketat dan risiko pemalsuan yang tinggi, memanfaatkan PPH bukan lagi sekadar opsi tambahan, melainkan alat manajemen waktu dan risiko yang patut dipertimbangkan sejak tahap perencanaan keluarga Paten.
Bagi perusahaan, universitas, dan lembaga riset yang menargetkan Indonesia sebagai salah satu pasar utama di Asia, langkah berikutnya adalah memastikan bahwa strategi pengajuan, penyusunan klaim, dan pemilihan jalur (national route, PCT-PPH, maupun MOTTAINAI) disusun dengan cermat agar memenuhi seluruh prasyarat PPH DJKI–JPO. Pendampingan oleh Konsultan Paten yang memahami praktik pemeriksaan di JPO dan DJKI akan sangat membantu dalam memetakan keluarga Paten, menyiapkan klaim correspondence table, serta mengoptimalkan jendela waktu pengajuan PPH. Dengan kombinasi perencanaan yang tepat dan pemanfaatan PPH secara strategis, Pemohon dapat memperoleh perlindungan yang lebih cepat, lebih pasti, dan lebih selaras dengan agenda komersialisasi teknologi mereka di Indonesia.
Jika Anda membutuhkan informasi lebih lanjut terkait Skema Patent Prosecution Highway (PPH) DJKI–JPO, langsung hubungi kami melalu kanal berikut dan dapatkan 15 menit konsultasi GRATIS:
📩 E-Mail : [email protected]
📞 Book a Call : +62 21 83793812
💬 WhatsApp : +62 812 87000 889







