Mahkamah Agung Inggris: Kecerdasan Buatan Tidak Layak Disebut Sebagai Inventor
Perbincangan terkait Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan belakangan ini semakin marak. Karena penggunaan AI sudah semakin dekat dengan kegiatan kita sehari-hari dan hasilnya pun bisa semakin sering kita lihat. Terutama untuk produk visual, seperti foto-foto di lini masa media sosial, video iklan di TV, hingga baliho peserta Pemilu yang tersebar hingga ke pelosok desa.
Namun jika dipandang dari sisi Kekayaan Intelektual (KI), masih terjadi perdebatan siapakah pemilik Hak Cipta dari karya-karya berbasis AI itu. Apakah programer-nya? Pengguna yang memberikan prompt/ perintah pembuatan? Atau AI itu sendiri?
Fenomena DABUS
Sejak tahun 2019 jagad KI dihebohkan dengan upaya Dr. Stephen Thaler yang ingin mendaftarkan DABUS (Device for the Autonomous Bootstrapping of Unified Sentience), Sistem AI ciptaannya sebagai penemu (inventor). Karena menurut Dr. Thaler, DABUS-lah yang telah membuat temuan (invention) wadah makanan dan minuman yang menggunakan pola fraktal untuk menjaga kesegaran makanan dan senter dengan pencahayaan unik untuk menarik perhatian.
Tapi upaya Dr. Thaler ini ditolak di beberapa negara. Di Amerika Serikat, DABUS ditolak oleh United States Patent and Trademark Office (USPTO), karena dari segi hukum, yang layak disebut inventor adalah natural person atau manusia sungguhan, seperti yang disebutkan dalam hukum federal di sana: “innovators must always be people who take the shape of humans.” Namun hal yang berbeda terjadi di Afrika Selatan, karena di sana inhuman credential dapat dikategorikan sebagai inventor. Sedangkan di Australia, walaupun Pengadilan Federal sempat memberikan lampu hijau kepada AI sebagai inventor di tahun 2021, tapi setahun kemudian, Pengadilan Tinggi Australia memutuskan menolaknya. Karena pada prinsipnya, “patents may only be granted for inventions by humans.”
Lord Kitchin: Keputusan UKIPO sudah tepat untuk menolak permohonan Paten DABUS
Pada 17 Oktober 2018, Dr. Thaler mengajukan permohonan Paten untuk kotak kemasan makanan dan minuman bernomor GB1816909.4, kemudian satu lagi pada 7 November 2018 untuk lampu senter inovatifnya, dengan nomor pengajuan GB1818161.0 di Kantor KI Inggris, United Kingdom Intellectual Property Office (UKIPO).
Namun karena Dr. Thaler tidak mencantumkan namanya sebagai inventor atas dua invensi tersebut, UKIPO mengirimkan surat padanya di bulan November 2018 untuk melengkapi informasi tersebut, dalam waktu paling lambat 16 bulan sejak tanggal pengajuan. Uniknya, pada bulan Juli 2019, Dr. Thaler justru mencantumkan DABUS, AI ciptaannya sebagai inventor dari dua invensi yang ia ajukan pendaftarannya. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Tahun 1977 di Inggris tentang Paten yang mengatur “the inventor of the invention had to be identified as a person.”
Karena Dr. Thaler tetap bersikukuh bahwa tidak ada manusia yang terlibat dalam invensi tersebut selain DABUS, ia melalui pengacaranya mengajukan keberatan, dan menjalani sidang pertama di bulan Desember 2019. Keputusan saat itu bulat, DABUS ditolak sebagai inventor, karena selain bukan manusia, DABUS dianggap tidak memiliki kemampuan untuk melakukan mengalihkan hak atas apa pun yang akan dimilikinya di kemudian hari. Tapi Dr. Thaler mengajukan keberatan, hingga persidangan terus berlanjut sampai akhir Desember kemarin, saat akhirnya Mahkamah Agung Inggris memutuskan AI memang tidak bisa dicantumkan sebagai inventor.
Keputusan yang Membuka Wawasan
Perjuangan Dr. Thaler dalam mengajukan AI-nya sebagai inventor berhasil membuka diskusi yang lebih luas di masyarakat global, terutama tentang bagaimana AI berpeluang mengubah undang-undang Paten dan Hak Cipta. Karena faktanya AI memang telah banyak membantu kerja manusia dalam berkarya. Bahkan dalam beberapa kasus bisa dibilang posisi manusia hanya tinggal menyalakan komputer, untuk selanjutnya komputer dan aplikasi dengan kecerdasan buatan yang bekerja dan berinovasi. Jika undang-undang tidak mengakomodir AI sebagai inventor, dikhawatirkan perusahaan justru akan kebingungan menentukan siapa nama inventor dari suatu invensi, sehingga mencantumkan nama-nama yang justru kurang berhak atas invensi tersebut.
Karena pada akhirnya, di era teknologi yang berkembang sangat pesat ini, karya atau invensi berbasis AI tidak terelakkan, maka kepastian hukum atasnya sudah menjadi kebutuhan.
Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut terkait Paten atau Kekayaan Intelektual lainnya, jangan ragu untuk menghubungi kami melalui [email protected].
Sumber: