Di awal tahun 2025, nama Indonesia kembali mencuri perhatian dunia ketika terlibat dalam upaya global melawan penyakit menular kuno, tuberkulosis (TBC). Kerja sama pemerintah Indonesia dengan Bill & Melinda Gates Foundation menjadi sorotan setelah dikabarkan bahwa Indonesia dipilih sebagai salah satu lokasi uji klinis fase akhir vaksin TBC.
Sorotan ini menghadirkan paradoks menarik. Indonesia selama ini termasuk negara dengan beban kasus TBC tertinggi di dunia, namun kini justru beralih menjadi salah satu kandidat terdepan dalam inovasi medis. Bagaimana hal ini bisa tercapai?
Indonesia: Dari Pasar, Menjadi Pemain Inovasi
Kolaborasi dengan Gates Foundation membuka peluang besar bagi lahirnya invensi baru terkait TBC—mulai dari zat aktif, formulasi obat atau vaksin, metode pembuatan, hingga solusi diagnostik. Paten berperan penting dalam:
- Memperkuat hak eksklusif,
- Mendukung pengembangan dan produksi,
- Memfasilitasi komersialisasi inovasi.
Industri farmasi dan biotek Indonesia karenanya tak bisa hanya menyaksikan. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk terlibat aktif dalam riset dan pendaftaran Paten, baik melalui kolaborasi lokal maupun global.
Tahap Uji Klinis: Apa yang Sedang Berjalan di Indonesia?
Pengembangan vaksin memiliki tahapan baku yang ketat:
- Pra-klinis : pengujian awal pada hewan
- Fase I : 3–80 relawan sehat, menentukan dosis aman
- Fase II : 20–200 relawan, menguji efikasi awal & respons imun
- Fase III : ratusan–ribuan peserta, memastikan efektivitas & keamanan
- Fase IV : pemantauan efek jangka panjang pascapemasaran
Menurut rilis Kemenkes (Mei 2025), kandidat vaksin TBC M72/AS01_E kini memasuki fase III, melibatkan 2.095 partisipan Indonesia sebagai bagian dari studi global.
Gates Foundation sendiri tercatat telah menyalurkan lebih dari US$300 juta ke Indonesia sejak 2009 untuk mendukung program kesehatan, nutrisi, sanitasi, dan sistem vaksinasi—termasuk riset vaksin TBC.
Dengan posisi ini, Indonesia bukan sekadar tempat penelitian, tetapi bagian dari ekosistem inovasi global.
Terbuka = Tidak Baru? Risiko “Disclosure” terhadap “Novelty”
Partisipasi dalam uji klinis fase lanjut membawa konsekuensi ilmiah sekaligus hukum. Pada fase III dan IV, terdapat kewajiban transparansi, seperti:
- Registrasi uji klinis, dan
- Pengumuman rencana dan hasil penelitian.
Namun, transparansi ini dapat menjadi pisau bermata dua. Barcombe et al. (2024) menyoroti bahwa di Eropa dan Amerika Serikat, keterbukaan berlebihan dapat mengancam novelty atau unsur kebaruan yang menjadi syarat utama Paten.
Mengapa? Karena berbagai bentuk publikasi, termasuk:
- Protokol uji,
- Lembar persetujuan peserta (ICF),
- Press release,
- Registrasi studi,
dapat dianggap sebagai prior art bila memuat informasi teknis yang memungkinkan (enabling) pihak lain mempraktikkannya.
Bila informasi seperti komposisi vaksin atau dosis terungkap terlalu dini, hal tersebut bahkan dapat dikategorikan sebagai public prior use, sehingga menggugurkan kebaruan.
Payung Regulasi Ada—Tapi Belum Cukup
Pelaksanaan uji klinis di Indonesia diatur melalui:
- BPOM No. 8/2024 (Uji Klinis)
- BPOM No. 24/2025 (Obat dan Obat Pengembangan Baru)
Keduanya mengadopsi prinsip ICH–GCP (International Council for Harmonisation – Good Clinical Practice) dan CUKB (Cara Uji Klinik yang Baik), yang menekankan:
- Kerahasiaan data kedua belah pihak,
- Perlindungan informasi sponsor & subjek uji,
- Kontrol mutu dan keamanan distribusi.
Mekanisme Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) pun tidak mewajibkan sponsor mengungkap formula atau komposisi obat secara rinci kepada peserta.
Namun, perlindungan regulatori saja tidak otomatis menjamin kebaruan Paten. Kebocoran informasi bisa tetap muncul melalui:
- Publikasi ilmiah,
- Materi rekrutmen,
- Entri registri uji yang memuat identitas senyawa / regimen dosis,
- Subjek uji yang tidak terikat NDA,
- Pihak ketiga seperti CRO, laboratorium, vendor logistik, atau penyedia IT tanpa klausul kerahasiaan kuat.
Bahkan hal sederhana semisal:
- Label kemasan dalam studi open-label,
- Certificate of Analysis (CoA),
- Catatan batch-to-subject
berpotensi mengungkap informasi teknis sensitif. Dengan demikian, strategi non-regulatori untuk menjaga kerahasiaan dan kebaruan Paten menjadi sangat krusial.
Landskap Paten TBC di Indonesia: Dinamis & Berkembang
Kerja sama internasional telah memicu “efek domino” berupa meningkatnya pendaftaran Paten terkait TBC di Indonesia. Data DJKI menunjukkan beberapa kategori utama invensi yang mulai bermunculan:
- Bahan Baku (Active Compound)
 Contoh:- IDP000065523: senyawa quabodepistat dengan aktivitas antibakteri kuat untuk Mycobacterium tuberculosis
- IDP000028943: turunan kuinolin; perlindungan berakhir 2025 yang membuka peluang generik & formulasi baru
 Ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan lagi sekadar pasar, melainkan tempat pengujian dan adaptasi molekul global.
 
- Formulasi & Komposisi
 Contoh:- IDP000058680: formulasi vaksin berbasis Mycobacterium dilemahkan
- P00202402878: platform vaksin berbasis protein fusi & asam nukleat
- P00202314496: komposisi implan tulang untuk komplikasi post-TBC
 Inovasi bergerak tidak hanya pada penemuan molekul, tetapi juga pada optimalisasi bentuk dan platform terapinya.
 
- Metode & Proses Pembuatan
 Beberapa invensi melindungi teknik sintesis & produksi yang memberikan efisiensi dan stabilitas, memberikan perlindungan tambahan atas teknologi manufaktur.
- Diagnosis
 Contoh:- IDP000067942: KIT liposomal untuk mendeteksi Mycolic acid sebagai biomarker utama M. tuberculosis
 Riset diagnostik ini membuka jalan menuju terapi presisi.
 
- IDP000067942: KIT liposomal untuk mendeteksi Mycolic acid sebagai biomarker utama M. tuberculosis
Kapan Harus Daftar Paten?
Karena disclosure dapat mengancam novelty, waktu terbaik untuk mengamankan Paten adalah sebelum informasi teknis terungkap ke publik.
Juga perlu diingat bahwa:
- Pendaftaran Paten tidak mensyaratkan izin edar BPOM.
- Data pra-klinis sering kali sudah cukup untuk mendukung permohonan.
Dengan kata lain, fase pra-klinis adalah waktu emas untuk mengajukan Paten!
Menunda hingga hasil penelitian dipublikasikan dapat memperbesar risiko gugurnya kebaruan.
Strategi yang Dibutuhkan Industri & Peneliti
Dengan berkembangnya riset dan pendaftaran Paten terkait TBC, pelaku industri dan peneliti perlu menyeimbangkan:
- Inovasi ilmiah,
- Manajemen disclosure,
- Strategi perlindungan hukum.
Tanpa strategi yang tepat, penemuan yang berharga dapat kehilangan nilai patennya.
Dari Eksperimen Menjadi Investasi
Indonesia kini berada di persimpangan penting. Dari negara dengan beban TBC tertinggi, Indonesia berkembang menjadi pusat riset dan inovasi vaksin serta terapi TBC. Untuk memaksimalkan peluang ini, industri lokal harus aktif mengamankan hasil risetnya melalui strategi Paten yang cerdas dan terukur.
AFFA siap menjadi mitra strategis untuk:
- Memetakan jalur Paten,
- Merancang analisis freedom-to-operate (FTO),
- Menjaga kebaruan invensi,
- Mencegah tumpang tindih hak Paten.
“Inovasi tanpa strategi hanya eksperimen — tetapi inovasi dengan perlindungan, adalah investasi.”
Untuk informasi lebih lanjut terkait pendaftaran dan perlindungan Paten di Indonesia, hubungi kami melalui kanal berikut ini:
📩 E-Mail : [email protected]
📞 Book a Call : +62 21 83793812
💬 WhatsApp : +62 812 87000 889







