Pada 31 Maret 2020, Indonesia secara resmi memasuki masa pandemi COVID-19 dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-I9). Setelah menghadapi berbagai tantangan, baik bagi masyarakat, dunia usaha, maupun pemerintah, status pandemi di Indonesia resmi dicabut pada 21 Juni 2023 dan beralih menjadi endemi berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penetapan Berakhirnya Status Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia. Dalam upaya pemulihan pasca-pandemi, pemerintah memprioritaskan pemulihan ekonomi dengan memperhatikan kebutuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Dengan memperhatikan kondisi kekhususan perekonomian bangsa Indonesia yang bertumpu pada UMKM, yang memiliki modal terbatas dan dapat berubah sewaktu-waktu serta force majeure (keadaan kahar) maka melalui Putusan Nomor 144/PUU-XXI/2023 yang dibacakan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 30 Juli 2024 dilakukan penyesuaian batas waktu atas Merek non-use yang semula tiga tahun menjadi lima tahun berturut-turut.
Perkara ini bermula ketika Ricky Thio menghadapi gugatan penghapusan Merek berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG) di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 28/Pdt.Sus HKI/Merek/2023/PN Niaga Jkt.Pst dari Zhejiang Dahua Technology Co., Ltd. yang menginginkan penghapusan Merek “” dengan nomor pendaftaran IDM000553432 karena dianggap tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut. Menurut Ricky Thio, situasi ini memunculkan ketidakpastian dalam perlindungan Merek yang diberikan pemerintah, yang berpotensi membuat pelaku UMKM ragu untuk mendaftarkan Merek mereka.
Jangka Waktu Pengajuan Gugatan Penghapusan Merek Yang Baru
Pada Putusan Nomor 144/PUU-XXI/2023 Mahkamah Konstitusi melihat pentingnya dilakukan penyesuaian batas waktu non-use menjadi 5 (lima) tahun berturut-turut yang dimana berkaitan erat dengan batas waktu pengajuan pembatalan Merek yang jangka waktunya adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pendaftaran Merek sebagaimana termaktub dalam Pasal 77 ayat (1) UU MIG. Sekalipun antara penghapusan dan pembatalan merupakan hal yang berbeda, namun pengaturannya ditempatkan pada Bab “Penghapusan dan Pembatalan Merek” dalam UU MIG.
Dengan demikian, tanpa bermaksud mengabaikan kecenderungan negara yang menganut civil law system, adanya penyesuaian batas waktu tidak digunakannya Merek terdaftar adalah 5 (lima) tahun adalah untuk memberikan keadilan bagi semua pemilik Merek terdaftar sehingga tidak bertentangan dengan Prinsip National Treatment serta selaras dengan pengaturan yang terdapat dalam Pembatalan Merek. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon yang mempersoalkan inkonstitusionalitas Pasal 74 ayat (1) UU MIG, khususnya frasa “3 (tiga) tahun” adalah beralasan menurut hukum.
Dalam amar Putusan Nomor 144/PUU-XXI/2023, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan Ricky Thio sehingga perubahan pasal terkait penghapusan Merek akibat Putusan tersebut adalah sebagai berikut:
Sebelum Putusan MK | Sesudah Putusan MK |
Pasal 74 ayat (1) UU MIG
Penghapusan Merek terdaftar dapat pula diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam bentuk gugatan ke Pengadilan Niaga dengan alasan Merek tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir. |
Pasal 74 ayat (1) UU MIG
Penghapusan Merek terdaftar dapat pula diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam bentuk gugatan ke Pengadilan Niaga dengan alasan Merek tersebut tidak digunakan selama 5 (lima) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir |
Pasal 74 ayat (2) UU MIG
Alasan Merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal adanya: a. larangan impor; b. larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang menggunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara; atau c. larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah |
Pasal 74 ayat (2) UU MIG
Alasan Merek tidak digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal adanya: a. larangan impor; b. larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang menggunakan Merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara; atau c. larangan serupa lainnya, termasuk dalam kondisi force majeure yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah |
Force Majeure dapat Digunakan untuk Pengecualian
Force Majeure (Keadaan Kahar) dapat menjadi alasan sah bagi pemilik Merek yang tidak dapat menggunakan Merek terdaftarnya atau tidak dapat menjalankan usahanya secara normal. Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 144/PUU-XXI/2023 menekankan pentingnya pengecualian ini. Secara umum, Force Majeure (Keadaan kahar) mengacu pada kejadian atau efek yang tidak dapat diprediksi atau dikendalikan, seperti bencana alam (banjir, angin topan, gempa bumi) atau tindakan manusia (kerusuhan, mogok kerja, perang) yang menghambat seseorang dalam memenuhi kewajibannya. Dalam konteks putusan ini, kondisi pandemi seperti ketika Covid-19 dianggap sebagai Force Majeure (Keadaan Kahar) yang membenarkan pengecualian bagi pemilik Merek yang mengalami kesulitan dalam menggunakan dan memproduksi Mereknya.
Konsekuensi daripada Putusan Nomor 144/PUU-XXI/2023 ini adalah bahwa ketentuan UU MIG harus disesuaikan dengan putusan tersebut. Hal ini tentu saja sejalan dengan penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU. No. 07 Tahun 2020 Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang jo Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang dimana menyebutkan “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.
Putusan ini mengatur bahwa pihak ketiga yang ingin mengajukan gugatan penghapusan Merek hanya dapat melakukannya jika Merek tersebut tidak digunakan selama 5 (lima) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa, dihitung sejak tanggal pendaftaran atau penggunaan terakhir. Untuk gugatan penghapusan yang diajukan sebelum putusan ini berlaku, tetap berlaku ketentuan lama, yaitu 3 (tiga) tahun tidak digunakan. Hal ini karena Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut (non retroaktif) namun berlaku ke depan (prospektif) sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU MK yang dimana menyatakan “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.”
Baca juga:
AFFA Dampingi Trek Bicycle Menangkan Gugatan Penghapusan Merek Marlin di Indonesia
Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut terkait pendaftaran dan perlindungan Merek di Indonesia dan/atau mancanegara, jangan ragu untuk menghubungi kami melalui email: [email protected].
Sumber: