Sudah menjadi rahasia publik kalau kita ingin menjaga atau bahkan meningkatkan kualitas suatu cabang olahraga, maka kompetisinya pun harus dijaga keberlangsungannya. Namun tentunya, penyelenggaraan yang konsisten butuh pendanaan yang tidak sedikit. Pendanaan itu mencakup biaya yang dikeluarkan untuk manajemen kompetisi, pengemasan acara, hingga penyajian menarik yang melibatkan banyak teknologi dan inovasi, serta menggaji para wasit.
Beberapa kompetisi olahraga yang dikenal sukses adalah Formula One (F1), MotoGP, UEFA Champions League, dan WWE. Mereka sukses menyajikan tayangan olahraga yang tidak hanya seru, tapi juga menghibur. Puluhan juta mata lebih tertuju ke sana dalam setiap penyelenggaraan live event-nya. Karena event-event tadi sudah memiliki branding yang baik, ada jaminan pertandingan berkualitas saat kita menyaksikannya. Dari sana akhirnya muncul “supply dan demand,” ada brand yang berani bayar mahal untuk menjadi sponsor agar logonya dilihat berjuta-juta orang, ada pula stasiun TV berani bayar mahal untuk mendapatkan Hak Siar eksklusif di negaranya.
Ya, Anda tidak salah baca. Stasiun TV harus membayar mahal ke penyelenggara agar kita bisa menyaksikan pertandingan tersebut secara cuma-cuma. Karena para penyelenggara event olahraga ini memang tidak membagikan begitu saja tayangan olahraganya. Mereka bahkan mengadakan proses lelang terbuka kepada seluruh Lembaga Penyiaran dari seluruh dunia untuk memberikan penawaran tertinggi, untuk menjadi Lembaga Penyiaran Resmi (Official Broadcaster) di wilayahnya. Maka dari itu tidak mengherankan pula jika Stasiun TV sebagai Lembaga Penyiaran sangat menjaga tayangannya sebagi aset yang berharga. Menjadi yang utama, bahkan jadi satu-satunya kanal yang disaksikan oleh para penggemar olahraga di wilayahnya.
Apakah praktek ini melanggar hukum?
Jawaban singkatnya tentu tidak! Karena untuk menjadi Lembagai Penyiaran Resmi dan mendapatkan Hak Siar (eksklusif), Lembaga Penyiaran sudah mengikuti serangkaian proses yang diatur oleh penyelenggara event olahraga tersebut, dan akhirnya terpilih mengalahkan Lembaga Penyiaran lainnya yang juga mengikuti proses lelang. Jika kita spesifik berbicara tentang AFC U-23 Asian Cup, dalam situs resminya, tercantum jelas nama MNC Media dan RCTI sebagai Lembaga Penyiaran Resmi untuk wilayah Indonesia, Papua Nugini, dan Timor-Leste.
Lebih lanjut dijelaskan, AFC hanya memberikan “Media Rights” dari kompetisi ini kepada Lembaga Penyiaran resmi. Terkait Media Rights ini, AFC punya deskripsi panjang sebagai berikut:
“The right and licence to produce edit and transmit, for intelligible reception throughout the world in any language and in any format and on any platform including film, fixed media, Digital Media, games, internet, public exhibition, radio, mobile and television, a visual, audio-visual, and/or audio signal and/or image or recording (including the basic feed, multi feeds, additional feeds, audio feeds, a feed incorporating Competition data, world feed and unilateral feeds) of the Competition and all interview activities and action during and forming part of the Competition including Official Functions and the Image Rights by any and all means of transmission distribution, exhibition and reception, now existing or hereinafter developed including but not limited to analogue, digital, satellite cable and interactive communications system, on a live, delayed and unlimited repeat basis, in full or in part (including by way of clips and/or highlights and/or support programmes and/or magazine shows and or news access), and all rights to exploit any and all commercial opportunities (including for example broadcast sponsorship and commercial airtime opportunities) arising from and/or in connection with such rights.”
Hak Siar Menurut Undang-Undang Hak Cipta
Sebuah tayangan olahraga merupakan bentuk audiovisual yang dilindungi Hak Cipta, karena merupakan Ciptaan yang masuk dalam kategori “Karya Sinematografi.” Pada Pasal 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) juga secara jelas menyebutkan bahwa Lembaga Penyiaran mempunya Hak Ekonomi untuk melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan penyiaran ulang siaran, komunikasi siaran, fiksasi (perekaman) siaran, dan/atau penggandaan fiksasi siaran.
Lebih lanjut, UU Hak Cipta Pasal 25 Ayat (3) menyebutkan, “Setiap orang dilarang melakukan penyebaran tanpa izin dengan tujuan komersial atas konten karya siaran Lembaga Penyiaran.” Dan ada sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah bagi pihak yang melanggar, sebagaimana yang diatur pada Pasal 113 Ayat (3) UU Hak Cipta.
Maka dari itu, sangat beralasan jika MNC Media dan RCTI melarang nonton bareng (nobar) aksi kesebelasan Indonesia di AFC tanpa izin, apalagi dikomersialisasi. Penggunaan secara komersial pun dengan jelas diatur dalam Pasal 1 UU Hak Cipta dimana “Penggunaan secara komersial dalah pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.”
Melalui pernyataan resminya, baik itu Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia yang diwakili oleh Sekretaris Kemenpora, Gunawan Suswantoro dan Corporate Secretary MNC Group, Syafril Nasution menyatakan pendapat yang sama, bahwa nobar tidak dilarang, selama itu tidak tidak bertentangan dengan undang-undang, yakni memungut biaya kepada penonton nobar yang hadir atau menerima sponsor dan iklan dari pihak lainnya.
Dalam rangka memberikan dukungan penuh kepada Tim Nasional U-23 yang akan berlaga di Semi Final, MNC Group memberikan kesempatan kepada siapa pun yang ingin menyelenggarakan nobar baik itu secara komersil atau non-komersil untuk mendaftarkan diri secara gratis. Selanjutnya pihak MNC akan memberikan tautan untuk memantau distribusinya, sekaligus memastikan apakah nobar yang diselenggarakan melanggar hukum atau tidak.
Praktek Hak Siar yang diterapkan oleh MNC Group ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan Hak Distribusi dari suatu film. Dimana film atau serial terbaru dari luar negeri, untuk bisa ditonton di bioskop atau kanal streaming, harus dibeli dulu oleh distributor lokal. Dan jika kita menyaksikannya lewat jalur yang tidak resmi, bisa disebut tindakan ilegal.
Maka dari itu, jika kita menyaksikan tayangan favorit melalui jalur resmi, kita telah mendukung iklim Kekayaan Intelektual yang lebih baik di Indonesia. Karena ini bukan tentang mempersulit masyarakat untuk bisa menyaksikan, namun lebih ke penegakan dan perlindungan suatu Ciptaan yang dilindungi Hak Cipta. Jika kesadaran masyarakat dalam memilih kanal tayangan resmi semakin tinggi, secara tidak langsung peringkat Indonesia yang masih terpuruk di “Indeks Kekayaan Intelektual International” juga akan meningkat.
Jika Anda membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai Hak Cipta, pencatatan Hak Cipta, perjanjian lisensi atau Kekayaan Intelektual lainnya, jangan ragu untuk menghubungi kami melalui [email protected].