Membangun Kompentisi ASEAN di Dunia Melalui Indikasi Geografis
Indikasi Geografis (IG) sangat penting dalam mengidentifikasi produk dari suatu wilayah tertentu, yang terkenal akan kualitas dan karakteristiknya yang unik. Indikasi ini semakin penting bagi konsumen yang mencari keaslian dan kualitas dalam kebutuhan belanja mereka.
IG berlaku di berbagai sektor, termasuk pada industri pertanian dan kerajinan tangan, sehingga mendorong peningkatan kualitas dari keberagaman bidang-bidang tersebut. IG juga menjamin kualitas produk bagi konsumen dan memastikan deskripsi lokasi asal yang tidak menyesatkan. Selain itu, produk-produk dengan Indikasi Geografis sukses mendorong perdagangan pada skala nasional, regional, dan internasional, yang berkontribusi pada pembangunan pedesaan dengan menciptakan lapangan kerja dan pendapatan yang lebih tinggi, dan mempromosikan daerahnya sebagai tujuan wisata. GI juga secara signifikan melestarikan pengetahuan tradisional dan keanekaragaman hayati lokal, yang seringkali berakar pada proses tradisional yang berbasis kemasyarakatan.
Sejak dimulainya Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai Aspek Terkait Perdagangan Hak Kekayaan Intelektual (Perjanjian TRIPS) pada tahun 1994, sistem perlindungan IG telah berkembang secara global, terutama di Asia. Negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah secara aktif menerapkan identifikasi dan pendaftaran IG sebagai alat strategis dalam menghadirkannya di pasar domestik dan internasional. Sampai dengan Januari 2019, negara-negara ASEAN telah mendaftarkan 346 IG, jumlah ini mencakup 37 GI asing, yang menggambarkan minat besar negara-negara ASEAN terhadap perlindungan Indikasi Geografis.
Thailand, Malaysia, & Indonesia Memimpin Kesadaran
Jumlah pendaftaran tadi memiliki disparitas yang tinggi antar negara-negara ASEAN. Thailand memimpin dengan 115, diikuti oleh Malaysia dengan 84, Indonesia di tempat ketiga dengan 74, Vietnam 69, kemudian Kamboja 3, dan Laos hanya dengan 1 saja. Delapan diantaranya telah terdaftar di pasar Uni Eropa (UE), seperti Merica Kampot dari Kamboja dan Nuoc Nam Phu Quoc dari Vietnam. Perjanjian Perdagangan Bebas UE-Singapura juga sudah berlaku untuk memperkenalkan IG dari Eropa ke Singapura, yang semakin menggarisbawahi pentingnya IG dalam bisnis perdagangan global.
Sama seperti Kekayaan Intelektual lainnya, tidak ada satu kerangka hukum yang menaungi seluruh IG di tingkat regional ASEAN. Karena setiap negara mempunyai kerangka hukumnya sendiri. Tapi untuk terhubung dengan UE, sebagian besar negara anggota ASEAN (8 dari 10) telah mengikuti pendekatan sui-generis dalam melindungi IG yang ada, dimana penerapannya mencakup “buku spesifikasi” atau “dokumen deskripsi” yang berisi deskripsi produk, wilayah geografis, metode produksi, dan hubungan antara produk dan asal geografisnya. Pengecualian untuk Filipina dan Brunei Darussalam yang masih menggabungkan hukum perdlindungan IG melalui Undang-Undang Merek yang mereka miliki.
Indikasi Geografis Meningkatkan Harga Berbagai Macam Produk
Di Uni Eropa, harga produk IG diperkirakan 2,23 kali lipat harga produk non-IG yang sebanding (rata-rata, 1,5 kali lebih mahal untuk produk pertanian pangan). Data lain di seluruh dunia menyebutkan bahwa IG dapat meningkatkan harga jual 20% s/d 50% lebih tinggi dibandingkan produk non-IG yang sebanding. Di kawasan ASEAN, IG menunjukkan dampak positif dalam hal volume, harga, dan pembangunan lokal. Misalnya, untuk semua IG lada, terjadi kenaikan harga pada periode dimana harga lada internasional relatif stabil. Harga Lada Putih Kampot (Kamboja) naik 2,6 kali lipat antara tahun 2009 dan 2018, harga Lada Putih Muntok (Indonesia) naik 6 kali lipat antara tahun 2009 dan 2015, sedangkan harga Lada Sarawak (Malaysia) meningkat hingga 4,32 kali lipat untuk penjualan dalam jumlah besar dari tahun 2003 (sebelum pendaftaran GI) hingga tahun 2016 (setelah pendaftaran GI).
Contoh sukses lainnya adalah pada produk kopi, Kopi Arabika Flores Bajawa (Indonesia) meningkat sebesar 2,2 kali lipat dari harga di tingkat petani antara tahun 2005 dan 2015, walaupun kenaikan harga tersebut masih tidak stabil. Untuk Kopi Doi Chaang (Thailand), harga buahnya juga meningkat 2 kali lipat. Kopi Buon Ma Thuot (Vietnam) juga sukses meningkatkan harga jual hingga 3% dari kopi sejenis di negaranya. Begitu juga dengan buah-buahan, maanfaat IG terasa bagi petani Koh Trung Pomelo (Kamboja) yang harga jualnya naik 1,33 kali lipat dari Pomelo (semacam buah jeruk) biasa. Begitu juga dengan Pomelo Pakpanang Tabtimsiam (Thailand) yang merasakan manfaat 1,75 kali lipat.
Begitu juga dengan barang-barang kerajinan tangan seperti Lamphun Brocade Thai Silk yang mengalami peningkatan pendapatan setelah mendaftarkan IG, dan merasakan kenaikan harga sebesar 1,5 kali lipat.
Manfaat penting lainnya dari Indikasi Geografis adalah pengembangan ekosistem produk dari pembentukan organisasi kolektif antar produsen dengan pengolah untuk pengelolaan produk, seperti hadirnya Komunitas Perlindungan Indikasi Geografis Garam Amed Bali di Indonesia. Pengembangan desa Agrowisata juga bisa tumbuh, seperti di wilayah Merica Sarawak (Malaysia), penyelenggaraan festival kopi di Buon Ma Thuot (Vietnam), dan kegiatan pelestarian varietas padi tradisional di Khao Kai Noi (Laos).
Perlindungan Indikasi Geografis di Uni Eropa dan Pasar Internasional
Seperti halnya Kekayaan Intelektual lain, IG perlu dilindungi di setiap negara tujuan, sesuai dengan kerangka hukum negara tersebut. Agar produk non-UE dapat didaftarkan di pasar UE, produsen dapat mengirimkan permohonan mereka secara langsung, atau melalui otoritas nasional di negaranya ke Komisi Eropa.
Untuk minuman beralkohol dan produk pertanian pangan, Komisi Eropa membutuhkan waktu maksimal 12 dan 6 bulan untuk memeriksa permohonan tersebut. IG asing ini akan terdaftar di pasar UE jika memenuhi persyaratan sistem UE, dimana memiliki keterkaitan yang erat antara produk dengan tempat asalnya dan memiliki mekanisme kontrol. IG asing ini dapat dilindungi sebagai Penunjukan Asal yang Dilindungi (PDO) atau Indikasi Geografis yang Dilindungi (PGI).
PDO atau PGI?
Produk yang terdaftar sebagai PDO memiliki kaitan paling penting dengan tempat pembuatannya, dan setiap bagian dari proses produksi, pemrosesan, dan penyiapan berlangsung di wilayah tertentu. Misalnya untuk minuman anggur, berarti bahwa buah anggur tersebut harus berasal secara eksklusif dari wilayah geografis tempat minuman anggur tersebut dibuat.
Sedangkan untuk kategori PGI, setidaknya sejumlah besar produk dan salah satu dari tahapan produksi, pemrosesan, atau penyiapan dilakukan di wilayah tersebut. Contohnya untuk minuman anggur, berarti setidaknya 85% anggur yang digunakan harus berasal secara eksklusif dari wilayah geografis tempat anggur tersebut dibuat. Contoh lain untuk minuman beralkohol, setidaknya salah satu tahap penyulingan atau persiapan dilakukan di wilayah tersebut. Namun, produk mentahnya bisa saja berasal dari tempat lain selain daerah tersebut.
IG asing tadi kemudian akan memperoleh manfaat perlindungan yang sama seperti IG yang berasal dari UE dan dapat menggunakan logo PDO atau PGI.
Indikasi Geografis Asal ASEAN yang Terdaftar di Uni Eropa:
- Vietnam Phú Quốc PDO (sejak 2012)
- Thailand Khao Hom Mali Thung Kula Rong-Hai PGI (sejak 2013)
- Kafae Doi Chaang PGI (sejak 2015)
- Kafae Doi Tung PGI (sejak 2015)
- Cambodia Kampot Pepper PGI (sejak 2016)
- Khao Sangyod Muang Phatthalung PGI (sejak 2016)
- Indonesia Kopi Arabika Gayo PGI (sejak 2017)
- Skor Thnot Kampong Speu PGI (sejak 2019)
Mendaftarkan Indikasi Geografis Melalui Sistem Lisbon untuk Pasar Internasional
“Undang-Undang Jenewa dari Perjanjian Lisbon tentang Sebutan Asal dan Indikasi Geografis” (2015) menghadirkan perlindungan internasional yang komprehensif dan efektif untuk produk berkualitas berbasis daerah asal. Perlindungan ini meliputi semua negara yang ikut serta di dalamnya (ada 29 negara anggota pada tahun 2019) dan bisa diakses melalui prosedur pendaftaran tunggal WIPO, sehingga dapat mengurangi formalitas dan biaya daripada diajukan pendaftarannya secara terpisah.
Namun permohonan pendaftaran internasional ini harus diajukan langsung oleh penerima manfaat, perwakilan mereka, atau otoritas nasional yang kompeten (biasanya Kantor Kekayaan Intelektual Nasional). Segala sebutan atas lokasi asal atau Indikasi Geografis yang didaftarkan akan tetap berlaku selama terlindung di negara asal dan akan dilindungi dari penyalahgunaan atau peniruan apa pun terkait barang-barang dari jenis yang sama, atau barang-barang yang bukan dari jenis yang sama, atau layanan, dalam kondisi tertentu di semua negara anggota Sistem Lisbon, kecuali jika ada penolakan.
Kamboja menjadi negara pertama di kawasan ASEAN yang mengikuti Undang-Undang Jenewa dan memanfaatkan Sistem Lisbon untuk melindungi Indikasi Geografis yang dimilikinya.
Kesimpulan
Indikasi Geografis telah menjadi sarana yang ampuh bagi negara-negara Asia Tenggara untuk menunjukkan kompetensi dan keterlibatan produk-produk unggulan mereka di pasar global. IG juga menjamin keaslian dan kualitas produk bagi konsumen dan mendorong pertumbuhan ekonomi, pembangunan pedesaan, dan pelestarian budaya di negara-negara ASEAN. Dengan semakin banyaknya IG yang terdaftar, khususnya di negara-negara seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia, serta meningkatnya minat terhadap perlindungan IG, negara-negara ASEAN akan semakin kuat pengaruhnya di kancah internasional.
Jika Anda membutuhkan informasi atau bantuan lebih lanjut mengenai Indikasi Geografis di Indonesia, ASEAN, atau di negara lainnya, silakan menghubungi kami melalui [email protected].
Sumber: